-->
    |

Potret Batin Indonesia, Aceh Hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z

Faktanews.id - “Di setiap kata tersembunyi jiwa, di setiap puisi terukir harapan dan luka.”


Kutipan ini menggambarkan kedalaman sastra sebagai cermin jiwa, yang mampu menangkap gemuruh batin dan getir hidup dari individu di berbagai penjuru negeri.

Melalui puisi, kita tidak hanya membaca kata, tetapi juga mendengar gema suara-suara terpendam yang mungkin sering terabaikan.

Begitu pula dalam kumpulan puisi esai ini, kita diajak masuk ke dalam realitas hidup Generasi Z Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kita menyimak kesaksian mereka tentang kehidupan, keadilan, cinta, dan ketidakadilan yang mereka alami atau amati.

Buku ini merupakan kumpulan puisi esai yang ditulis oleh Generasi Z, mereka yang berusia 25 tahun ke bawah. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Di bawah bimbingan 18 kakak asuh, sebanyak 181 penulis berbakat melahirkan karya ini. Dari mereka kemudian dipilih 26 penulis untuk mendalami proses kreatif mereka dalam sebuah lokakarya bersama Okky Madasari.

Karya-karya ini menjadi bagian dari penyambutan Festival Puisi Esai Jakarta yang kedua, Desember 2024.

-000-

Banyak tema yang diangkat Generasi Z dan diekspresikan melalui puisi esai.

Salah satunya adalah “Bulan di Pangkuan Ibu” karya Achmad Sudiyono Efendi, yang mengisahkan tragedi carok di Madura, menyuarakan benturan antara kehormatan dan nasib keluarga.

Puisi esai ini mengangkat budaya sekaligus derita dari kehidupan yang berujung pada pertumpahan darah, menciptakan potret yang menyentuh antara cinta seorang ibu dan harga diri keluarga.

Lalu, ada “Menyingkap Retak” karya Aqilah Mumtaza, yang menceritakan perempuan yang terperangkap dalam kekerasan rumah tangga.

Ia menjadi simbol dari perjuangan perempuan di tengah tekanan sosial. Kisah ini membuka tabir luka batin yang sering disembunyikan oleh masyarakat, memperlihatkan sisi kelam yang kerap tersimpan di balik dinding-dinding rumah.

Sementara itu, “Luka Lara Dinda” karya Atiya Fathina menggambarkan perpecahan ideologis dalam keluarga selama Perang Cumbok di Aceh.

Ada konflik besar yang mampu mengoyak hubungan antara anggota keluarga yang saling mencintai. Puisi ini membawa pembaca pada dilema dan perihnya sebuah pilihan, antara loyalitas keluarga dan keyakinan pribadi.

Perang Cumbok adalah konflik bersenjata di Aceh yang berlangsung dari 2 Desember 1945 hingga 16 Januari 1946.

Perang ini terjadi antara kelompok ulama (teungku) yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan para uleebalang (teuku) yang berpihak pada Belanda.

Konflik ini berakar dari perselisihan kekuasaan dan ideologi pasca-proklamasi. Para teuku khawatir kehilangan hak istimewa dan memilih mendukung Belanda.

Perang ini meninggalkan luka mendalam di masyarakat Aceh, memecah persaudaraan dan keluarga karena perbedaan politik. Perang Cumbok menjadi simbol perpecahan internal dan dampak traumatis dari pengaruh kolonialisme dalam sejarah Aceh.

-000-

Topik utama Festival Puisi Esai Jakarta kedua, Desember 2024, bertema Kesaksian Generasi Baru.

Komunitas puisi esai sengaja mengajak Generasi Z dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menuliskan kisah nyata yang telah mereka saksikan atau alami.

Puisi esai sendiri merupakan perpaduan antara puisi dan prosa yang menyuarakan kisah nyata, yang difiksikan dalam bingkai estetik untuk menggugah pembaca. Catatan kaki hadir secara sentral karena ia mewakili kisah nyata yang dipuisikan.

Generasi Z ikut menjadi saksi langsung dari isu-isu aktual yang mereka hadapi: ketidakadilan, HAM, lingkungan hidup, dan isu kemanusiaan lainnya.

Mengapa penting bagi Generasi Z untuk mulai bersaksi atas ketidakadilan melalui puisi esai?

Pertama, dengan menulis puisi esai, Generasi Z diajak untuk melihat dunia melalui lensa yang lebih tajam. Sastra membuka ruang kontemplasi, memperdalam kesadaran akan isu-isu yang sering terlewat di tengah derasnya arus digital.

Melalui penulisan, mereka dipaksa untuk berhenti, merenung, dan mengungkapkan apa yang mereka lihat dan rasakan.

Kesadaran ini adalah akar dari pemahaman yang dalam, karena sebelum seseorang bisa berjuang melawan ketidakadilan, ia harus terlebih dahulu menyadarinya.

Kedua, puisi esai memberi Generasi Z alat untuk melatih empati. Ketika mereka menuliskan pengalaman ketidakadilan yang mungkin dialami atau disaksikan, mereka memasuki kehidupan lain.

Mereka mendengar suara-suara terpendam, merasakan kepedihan yang sering kali tersembunyi di balik layar.

Empati bukan hanya tentang merasa iba, melainkan tentang terhubung dengan manusia lain pada tingkat yang lebih dalam. Sastra, dalam hal ini puisi esai, memungkinkan mereka untuk menghidupkan cerita-cerita nyata dengan sensibilitas, membuatnya terasa nyata bagi pembaca.

Ketiga, dengan menciptakan puisi esai, Generasi Z tidak hanya bersaksi untuk masa kini tetapi juga mewariskan pengalaman mereka bagi masa depan.

Berdasarkan data LSI Denny JA, kini hanya 16 persen dari populasi Indonesia yang setahun lalu sempat membaca setidaknya satu buku sastra (puisi, novel, drama). Sekecil apapun gerakan Gen Z menulis puisi esai dari Aceh hingga Papua dapat kembali membawa sastra ke tengah gelanggang.

Setiap kata yang mereka tulis menjadi bagian dari jejak sejarah, pengingat bahwa ketidakadilan dalam bentuk tertentu terjadi di era mereka dan harus dilawan. Mereka meninggalkan warisan kemanusiaan yang melampaui batas usia dan waktu.

Di dunia yang kerap terjebak dalam kedangkalan, puisi esai menjadi saksi bisu yang akan terus berbicara. Ia menggugah kita agar tidak pernah melupakan peran dalam merespons ketidakadilan.

Ketika mereka mengungkapkan pengalaman ini, mereka tidak hanya menyuarakan peristiwa, tetapi juga melatih empati dan kepekaan sosial yang kian tergerus oleh derasnya informasi cepat.

Di tengah dunia yang kerap terjebak dalam citra dangkal, puisi esai menawarkan ruang bagi kedalaman dan refleksi, tempat di mana setiap kisah bisa hidup dan berakar.

“Ketika kata menjadi saksi, maka sejarah sebuah peristiwa takkan hilang ditelan waktu.”

Melalui puisi esai mereka, Generasi Z menuliskan jejak mereka, mencatat harapan, dan menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang esensial.

Oleh: Denny JA


Komentar Anda

Berita Terkini