Faktanews.id – Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia mengingatkan, teknologi saat ini telah menciptakan polarisasi dengan adanya pendengung atau buzzer. Kehadiran mereka dianggap telah memecah-belah masyarakat dengan menggerakkan satu isu dan ide.
“Untuk itu, diperlukan gerakan kohesi kebangsaan serta visi-misi dari para politisi muda untuk mengatasi hal ini, terutama pasca pandemi. Kohesi kebangsaan adalah gerakan ILUNI UI untuk merekatkan kembali seluruh elemen masyarakat,” ujar Andre dalam sambutannya di acara diskusi daring Forum Diskusi Salemba dengan tema Ruang Temu Politisi UI “Tahun 2022: Kepemimpinan, Keindonesiaan dalam Bingkai Kohesi Kebangsaan Pasca Pandemi”, Kamis (16/12).
Dikatakan Andre, harapan bangsa akan kualitas demokrasi tergantung pada para politisi muda. Tak terkecuali alumni UI yang telah berkiprah di parlemen atau pemerintahan. Nilai-nilai budaya seperti gotong-royong dan kearifan lokal lain, dikombinasikan dengan hal-hal global seperti demokrasi dan antikorupsi, menjadi penting dipegang dan dirawat para calon pemimpin masa depan.
Ketua Policy Center ILUNI UI M. Jibriel Avessina menekankan, penting untuk melihat prospek Indonesia ke depan. Apalagi, pada 2045 Indonesia akan dipimpin generasi produktif dan para pemuda. Oleh karena itu, penting untuk dapat merangkul para pemuda terutama yang berkecimpung di dunia politik.
“Nanti Polcen akan mengundang secara berkala tokoh-tokoh pemuda yang berperan di parpol maupun birokrasi dan eksekutif lokal. Bukan hanya 10, mungkin lebih. Kita akan membawa perubahan, membawa negara ini jadi lebih baik untuk menyongsong Indonesia 2045,” tukasnya.
Sementara itu, Kepala Bakomstra Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menegaskan, polarisasi masih ada di tengah ancaman krisis pandemi saat ini. Dia menyoroti, ada upaya framing dari pihak tertentu yang ingin memberikan pandangan seolah pihak di luar pemerintahan mau menyesatkan atau membuat pemerintahan kacau. Dan polarisasi dengan memberi label dan stigma ini dianggap bukan terjadi begitu saja, tapi diciptakan dan dilanggengkan pihak tertentu untuk kepentingan sendiri.
“Pada saat polarisasi itu dirawat, dibentuk, dan didesain untuk terus ada oleh pihak-pihak tertentu, berarti untuk meminimalisir polarisasi juga bisa didesain dan dirancang. Sesuatu yang didesain, bisa didesain ulang agar tidak terjadi polarisasi,” ungkap Herzaky.
.
Lebih lanjut, Herzaky memaparkan ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk meraih kohesi kebangsaan pasca pandemi. Menurutnya, perlu ada ruang dialog yang terbuka. Dia menekankan, jangan sampai ada framing ketika tokoh tertentu berbicara, dianggap ingin menjatuhkan negara. Selain itu, penting untuk menjalin silaturahmi untuk mencairkan antara pihak yang berbeda pandangan. Perlu juga edukasi kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah hal yang biasa.
Senada dengan Herzaky, Ketua Umum DPP Ampi/Ketua Lembaga Kreativitas & Inovasi DPP Golkar Dito Ariotedjo mendukung adanya upaya ruang diskusi antar politisi dan pemimpin muda. Dia pun mengapresiasi upaya ILUNI UI untuk membuka ruang temu. Harapannya, ruang diskusi untuk para alumni UI di sektor publik dan parpol membuka koordinasi antar sesama politisi. “Saya berharap kita di UI bisa saling merangkul dan menarik sesama politisi agar langkah-langkah kita didukung sesama UI,” cetusnya.
Pasca pandemi, menurutnya adalah momentum agar ke depan penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi makin baik. Dito juga mendorong para pemuda yang berkecimpung di dunia politik harus lebih sering berdikusi. Selain itu, ada aksi konkret yang bisa dilakukan para politisi muda. Menurut dia, lingkungan politik khususnya partai memang banyak kejadian di luar idealisme dan norma yang sudah dipelajari.
“Aksi konkret bisa ditunjukkan dengan ketika mendapat jabatan atau di setiap fase pengabdian di partai kita tunjukkan dengan bukti konkret program kerja, dan dengan memperjuangkan hal-hal yang secara prinsip harus diperjuangkan” tutur Dito.
Dukungan atas gerakan kohesi kebangsaan juga diberikan oleh Kepala Staf Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian. Dia berharap agar tidak ada perilaku framing kepada mereka yang berada di luar pemerintahan. Menurutnya, perilaku ketidakpercayaan publik kepada sesama (distrust public) terjadi karena adanya adu domba.
“Kita boleh berbeda. Jangan berpikir karena PKS dan Demokrat di luar pemerintahan kita berupaya merusak negara ini. Fitrah demokrasi harus ada oposisi yang membawa aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Ke depan, Pipin berpendapat, pentingnya tiga perilaku modal sosial dalam kepemimpinan di Indonesia. Yang pertama adalah perlunya rasa kepemilikan atau sense of belonging. Tidak boleh ada klaim sepihak bahwa Indonesia hanya milik golongan tertentu, sedangkan yang lain mendapat stigma anti Pancasila. Kedua, pemimpin harus memiliki rasa kebersamaan sesama anak bangsa tanpa pandang suku dan ras. Selain itu, perlu ada modal sosial rasa saling percaya dan adil sejak dalam pikiran.
Ketua DPP Partai Gerindra Vasco Ruseimy mengingatkan agar jangan terjebak pada masalah hilir dalam penanganan pandemi,. Seharusnya, Indonesia lebih memikirkan permasalahan di hulu. Dia menyoroti, saat ini anggaran yang dikucurkan masih lebih banyak pada permasalahan hilir seperti bantuan sosial. Namun, anggaran untuk penelitian terkait virus corona masih sangat kecil.
“Para peneliti di UI saja banyak yang pintar tapi tidak difasilitasi negara. Banyak yang akhirnya difasilitasi negara lain. Kalau mau menangani pandemi tanpa melihat seperti apa hulunya, hilirnya pasti ngaco,” tegasnya.
Dia juga menyoroti, bagaimana saat ini untuk jadi pemimpin di Indonesia membutuhkan dana besar. Tak hanya bicara tentang politik uang atau money politic. Menjadi pemimpin, Vasco menambahkan, perlu ongkos politik (cost politic) yang juga besar. Sehingga, sangat disayangkan jika ada tokoh-tokoh bangsa yang punya kompetensi memimpin bangsa, kalah oleh tokoh lain yang meraih popularitas tinggi. “Misal dengan cara ekstrem, masuk gorong-gorong, ada yang marah-marah. Cara-cara yang kurang sehat untuk dapat citra positif di masyarakat.,” kata Vasco.