Faktanews.id - Dari Glasgow yang jauh, S.T Waworuntu berani memastikan bahwa “Hamid Basyaib Tidak Jujur Tentang Kematian Filsafat” — begitulah judul tulisannya yang dimuat di wall Fitzerald Kennedy Sitorus.
Tuduhan ini pasti didasarkan pada ketakcermatan dia membaca tanggapan saya atas tulisan Sitorus (berjudul “Sains, Filsafat dan Pemikiran Filosofis”). Jadi, Waworuntu salah, meski kesalahannya tak sejauh lokasi tempat tinggalnya — setidaknya ada beberapa tetes elemen kebenaran dalam kritiknya terhadap tulisan saya.
Pertama, saya tidak menyatakan bahwa saya membaca karya-karya Heidegger dll yang judulnya saya kutip. Ini secara logis dan intuitif mestinya dimengerti oleh Waworuntu. Saya sedang berkampanye untuk mengembangkan scientific temper (misalnya bersama kawan-kawan di kelompok ForSains); saya tidak sedang mengampanyekan philosophic temper.
Jadi, buat apa saya membaca buku-buku yang justeru saya ragukan kebenaran dan manfaatnya? Saya justeru menyatakan bahwa filsafat telah mati setelah kedatangan sains. Maksudnya: daya eksplanasi filsafat untuk menjelaskan alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak lagi andal; observasi, kontemplasi dan klaim-klaim filsafat tak lagi bisa dipercaya.
Dulu, dulu sekali, spekulasi-spekulasi mereka masih layak disimak; mungkin bisa dijadikan rujukan, bukan karena mereka benar, tapi semata-mata karena tidak ada ide pembanding; sebab sains modern belum muncul. Jadi, kaum filosof di jaman dulu itu, yang jumlahnya sedikit saja karena masing-masing bersikap eksklusif, bagaikan pendekar bermata satu di tengah kaum tunanetra.
Alasannya terlalu jelas: filsafat semata-mata mengandalkan spekulasi; semua ide para filosof adalah pikiran spekulatif mereka. Itu tinjauan epistemologisnya. Dan dalam kenyataannya memang tiap hari klaim-klaim filsafat yang cuma ngarang itu dipatahkan oleh temuan-temuan sains yang didapat melalui metode empiris yang sangat ketat dan terus disempurnakan.
Bahkan, kalaupun ada satu — satu saja — klaim filosof yang benar secara faktual (tapi saya sulit sekali menemukan contohnya), itu pun tidak menggugurkan fakta bahwa disiplin filsafat sudah mati. Sebab klaim filosof semacam itu benar hanya secara kebetulan; kita tahu ia benar hanya setelah tebakan itu dikonfirmasi oleh riset empiris sains. Sang filosof sendiri tidak akan mampu menjelaskan kepada orang lain metodologi atau tahap-tahap proses pemikirannya hingga ia tiba pada suatu kesimpulan.
Artinya konfirmasi sains justeru lebih terinci dan kaya, yang tidak mungkin ditandingi oleh sekadar spekulasi filsafat, bahkan kalaupun seorang filosoflah yang pertama kali mengajukan gagasan yang kemudian diriset oleh sains itu.
Jika Waworuntu masih juga kesulitan memahami fakta yang sangat jelas ini, silakan ajukan satu saja contoh klaim filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah/empiris, misalnya tentang ruang angkasa, tentang “jiwa” manusia, tentang gizi, atau apa saja.
***
Itu tidak berarti semua ide filosofis tidak berguna. Sebagai pre-science (Karl Popper) beberapa ide filosofis sejauh ini masih bermanfaat, bahkan penting untuk membangun kehidupan bersama umat manusia; untuk menjalin hubungan internasional yang sehat, untuk perumusan ketentuan undang-undang, dll.
Contohnya: pengakuan tentang martabat manusia, yang bisa dijabarkan menjadi prinsip-prinsip HAM, yang terus diperluas cakupannya. Filsafat bertolak dari ide bahwa manusia adalah mahluk termulia di muka bumi dan konsekuensinya ia wajib dihormati; ia memiliki hak-hak dasar pemberian Tuhan, dst. Kepercayaan tentang adanya martabat manusia ini tidak ilmiah; ia sepenuhnya konstruksi filosofis.
Posisinya di bumi hanya anggota biasa dari animal kingdom; struktur genetiknya hanya berbeda sedikit sekali dari hewan senior terdekatnya (simpanse), juga dengan yang lebih tua (gorila). Biologi sudah menerangkan hal ini sejelas-jelasnya. Dan semua dokter pun bisa mengecek: di dalam diri manusia hanya ada jantung, ginjal, usus dll. Tidak ada martabat.
Konstruksi-konstruksi filsafat semacam itu tidak akan mampu bertahan dari pertanyaan saintifik. Pelajar biologi dan kedokteran, misalnya, bisa bertanya: mana yang disebut martabat manusia itu; bagaimana wujudnya; seperti apa bentuknya; besarkah atau kecil, dsb. Fiksi tentang martabat manusia itu bisa bertahan semata-mata karena keputusan politik dan perlindungan hukum; bukan karena bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan karena eksistensinya bisa dibuktikan secara empiris.
Tapi apakah semua itu harus dibuang, dan umat manusia kembali ke situasi biologis sediakala, seperti sebelum ia mengenal kebudayaan (situasi yang memungkinkan terbentuknya konstruksi filsafat)?
Pertanyaan ini perlu juga dijadikan agenda riset sains, yaitu untuk menemukan landasan humanisme baru yang solid secara ilmiah; bukan untuk agenda penyelidikan filsafat, sebab ia tak akan mampu melakukannya, dan yang akan disumbangkan oleh filsafat hanyalah spekulasi-spekulasi baru (kecuali ia bertolak dari temuan-temuan sains).
Kedua, saya harus menyebut judul buku-buku itu agar lawan debat saya mengerti bahwa yang menyatakan “filsafat wafat” itu bukan hanya saya; para filosof yang dianggap besar pun sudah lama menyatakannya, seperti tecermin persis dari judul buku-buku mereka.
Lawan-lawan saya adalah orang-orang yang terbiasa mengandalkan appeal to authority. Mereka tak gampang percaya bahwa orang seperti saya, yang tidak terdidik dalam studi filsafat, bisa berpikir sendiri (mungkin mereka menganalogikan dengan diri sendiri), tanpa mentah-mentah merujuk otoritas.
Sedangkan mereka yang sudah puluhan tahun suntuk menekuni pikiran para filosof besar saja tidak sanggup berpikir sendiri, apalagi orang yang tak terdidik dalam filsafat — begitu tampaknya cara pikir mereka. Setidaknya inilah tema penting dari pembelaan Sitorus untuk posisi yang diambilnya; ia terus menerus menekankan betapa awamnya lawannya dalam kajian filsafat dan betapa pahamnya dirinya sendiri.
Mereka, seperti dengan mudah kita lihat, tak mengajukan pikiran apapun yang otentik milik mereka sendiri. Mereka hanya membanjiri tulisan dengan curahan kutipan para filosof dari abad-abad lampau, yang pada umumnya serampangan juga; mengutip sekenanya sambil melepaskan kalimat-kalimat yang mungkin indah dan cerdas dari konteks yang dimaksud oleh si otoritas.
Di Indonesia, contoh terbaik tentang gejala gandrung mengutip ini terlihat jelas pada Goenawan Mohamad, yang tiap minggu melakukannya tanpa putus selama 45 tahun (alias 9 periode kepresidenan; mengalahkan masa dinas Presiden Suharto), dalam esai tetap di majalahnya sendiri, Tempo, dan dengan demikian terjamin pemuatannya.
Dengan pertimbangan itu saya merasa perlu menyebut judul- judul yang lazimnya merupakan perpadatan atau tema pokok sebuah buku.
Jika ternyata isi buku-buku Heidegger atau Isabelle Thomas-Fogiel itu meleset dari judulnya seperti dikatakan Waworuntu, tentu yang selayaknya ia salahkan adalah para penulis buku-buku itu. Mengapa mereka menyesatkan pembaca dengan menampilkan isi buku yang berbeda atau berlawanan dengan judulnya? Mereka tidak sejujur Arthur Miller, penulis drama mashur “The Death of the Salesman.” Dalam drama Miller, si salesman memang mati sungguhan, sesuai judulnya; Miller tidak ingkar janji.
Para pelaku itulah yang sepatutnya digugat oleh Waworuntu, sedangkan saya hanya korban dari penyesatan mereka.
Apakah ini problem lain kaum filosof, yang tak mampu menyelaraskan apa yang mereka maksud dan apa yang mereka tulis? Lain yang gatal, lain pula yang digaruk, kata pepatah.
Jika benar, ini memperparah kelemahan klasik mereka yaitu ketidakmampuan menjelaskan pikiran dengan gamblang, tanpa keruwetan yang mubazir. Studi-studi dalam cognitive science sudah lama mengidentifikasi hal ini: jika orang tak mampu menuangkan pikirannya dengan jelas dalam tulisan, itu pertanda pikirannya sendiri tidak beres.
Salah satu ciri penting kecerdasan adalah: menyederhanakan isu rumit, bukan memperumit urusan sederhana. Jika kau tidak mampu menjelaskan gagasanmu kepada anak kelas 3 SD, begitu kira-kira kata Albert Einstein dan Richard Feynman, berarti kau belum paham tentang gagasanmu itu.
***
Waworuntu mengutip penggalan pengantar Thomas-Fogiel dalam karyanya, “The Death of Philosophy”, yang dia pastikan saya tidak membacanya. Tapi dari pengutipan Waworuntu sendiri justeru terlihat bahwa memang ada masalah serius dalam eksistensi filsafat sebagai disiplin.
Saya ulangi pengutipan Waworuntu: “I will simply return to the source of the thesis of the death of philosophy. If, following the example of Mark Twain, who, upon reading his own obituary in a poorly informed newspaper, protested of “the reports of my death are greatly exaggerated,” we must likewise declare the reports of philosophy’s death to be in error..”.
Tanpa bermaksud “adu kutipan” — biarlah urusan kutip-kutipan ini kita serahkan pada ahlinya — dari situ terlihat bahwa memang banyak orang, termasuk kalangan filosof sendiri, yang menyatakan filsafat sudah mati, yang disebut Thomas-Fogiel “the thesis of the death of philosophy” dengan berbagai argumen masing-masing; dan Thomas-Fogiel merasa harus menulis buku semacam itu untuk menyanggah argumen kalangan “pro-death”. Jadi, memang bukan dia sendiri yang menyatakan filsafat sudah wafat.
Apakah ikhtiarnya, sebagai guru filsafat di Prancis — artinya filsafat dan pengajarannya adalah core business-nya — berhasil untuk menyelamatkan filsafat? Sangat diragukan. Tampaknya yang terjadi adalah: Isabelle Thomas-Fogiel menggonggong, kafilah The Death of Philosophy berlalu.
Jika filsafat beres belaka, buat apa Thomas-Fogiel sampai membuat buku khusus pembelaan yang penyajiannya susah dipahami itu? Hal yang sama tidak terjadi pada sains. Tidak ada ilmuwan yang merasa perlu menulis buku “The Death of Science” karena sains bukan hanya tetap sehat tapi juga semakin afiat.
Memang, John Horgan dulu menulis “The End of Science” (saya punya beneran, lho, bukunya), tapi yang dia maksud dengan tamatnya sains adalah dalam pengertian ahli biologi Stanislav Grof (tentang ini sudah saya paparkan panjang-lebar dalam polemik sains dan filsafat tahun lalu).
Dan Horgan bukan ilmuwan; ia wartawan sains. Tampaknya dia dan sejumlah orang lain juga memanfaatkan mode “endism” yang sedang trendy kala itu, berkat munculnya karya mashur Francis Fukuyama “The End of History” (awal 1990an) dan sejak itu “tamatisme” jadi frasa yang seksi dan diharap bisa memanen sukses komersial bagi buku apapun yang judulnya “The End/Death of…..”.
Jika Waworuntu menyusuri sedikit lebih jauh pengantar Thomas-Fogiel, ia akan berjumpa dengan panorama yang lebih kaya daripada sekadar sanggahan penulis yang menganalogikan kematian filsafat dengan obituari Mark Twain yang menurut Twain “dibesar-besarkan” itu.
Beberapa filosof kontemporer yang dikutip Thomas-Fogiel berpendapat sebaiknya filosof meleburkan diri ke dalam disiplin lain. Gejala spesialisasi filsafat dianggap sering sekali mengarah ke peleburan tersebut, sehingga disiplin induk filsafat sendiri ditinggalkan. Gejala peleburan ini begitu mencolok, sampai dianggap Thomas-Fogiel seakan memenuhi harapan seorang filosof agar epistemologi menjadi “a branch of engineering”.
Inti semangat Thomas-Fogiel adalah: bagaimana memulihkan atau menghidupkan lagi filsafat lama (yang implisit dia akui memang dalam keadaan sekarat), agar filsafat kembali bugar. Sebagai ikhtiar dari seorang guru filsafat yang bisnis pokoknya adalah pengajaran filsafat di sekolah-sekolah, tentu saja upaya Thomas-Fogiel melalui bukunya wajar belaka, tanpa kita harus setuju.
Ringkasnya: pembelaan-pembelaan ala Thomas-Fogiel itu justeru merupakan indikasi bahwa apa yang dia kuatirkan memang sedang terjadi, dan karena itu ia mencoba mempertahankannya.
***
Fakta bahwa filsafat sudah mati juga ditunjukkan oleh semakin langkanya kemunculan filosof-filosof baru. Setiap abad jumlah mereka berkurang. Makanya para penggandrungnya hanya bisa memamah ide-ide kuno dari para filosof baheula — bahkan sampai ke masa paling awal di Yunani.
Yang masih banyak muncul adalah para sejarawan filsafat, atau komentator dan apresiator filsafat lama. Jadi yang berkembang adalah sejarah filsafat, bukan filsafat (seorang sumber Thomas-Fogiel bahkan berpendapat seiring matinya filsafat, sejarah filsafat pun tamat). Sekali lagi: hal ini memang niscaya; tidak mungkin ada filosof kontemporer yang berani main klaim (misalnya tentang alam semesta, sifat manusia dll), di tengah arus deras temuan sains yang tanpa ampun, yang sangat meyakinkan karena penjelasan empirisnya sangat terinci.
Kelangkaan filosof baru itu dengan mudah bisa kita lihat dari kajian-kajian di sekolah filsafat. Tipikal judul buku atau skripsi/disertasi mereka adalah: “Filsafat Keindahan Menurut si Anu”, “Kuasa Totaliter dalam Pandangan Tuan Fulan”; atau “Estetika Peteng Pak Surono”, dsb. Tidak ada karya yang menyajikan filsafat orisinal mereka sendiri.
Para pelajar filsafat lazimnya hapal riwayat pemikiran dan aliran-aliran para filosof kuno itu. Si Anu termasuk penganut filsafat metafisik, si Badu tergolong filsafat analitik, Pak Fulan jagoan filsafat ketuhanan dll dst, lalu diuraikanlah pokok-pokok pikiran mereka sesuai aliran masing-masing. Mana filsafat si penulis buku sendiri? Ning alias hening.
Padahal mereka, sebagai kaum terpelajar, selayaknya mencontoh orang-orang seperti Heidegger dll itu, yang sejak usia muda berani berpikir sendiri, dan berani menyajikan pikirannya sendiri — terlepas apakah sajiannya gampang dipahami atau tidak; terlepas apakah kita setuju atau tidak. Sapere aude! teriak Kant. Tapi tidak banyak yang berani mengamalkan nasihat suportif ini. Kita respek pada keberanian intelektual generasi Immanuel Kant dll itu.
***
Dalam penjelasan tentang pemuatan tulisan Waworuntu di wall FB-nya, Sitorus mengemukakan nasihat-nasihat berpretensi bijak agar “orang” (tentu maksudnya adalah saya, HB) lebih jujur, lebih hati-hati dalam mengutip, dan agar saya menyadari bahwa pengetahuan saya tidak memadai.
Sitorus sendiri tidak hati-hati dalam membaca tulisan orang lain. Ia telan tulisan Waworuntu itu mentah-mentah dan mengasumsikan isinya kebenaran belaka — seolah-olah “isinya daging semua”, kata netizen — lalu rombongan sorak segera membagikannya di laman masing-masing. Sitorus kontan menelan tulisan itu, tampaknya semata-mata dengan pertimbangan isinya mendukung posisinya sendiri dan mencela posisi saya.
Penulis yang jujur semestinya tidak berperilaku begitu. Siapapun penulis suatu tulisan dan apapun isinya, kejujuran intelektual mengajarkan supaya kita tetap kritis menghadapinya — ini kearifan akademis sangat standar. Jangan seperti sindiran sebuah pepatah Minang: tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Hanya karena suatu tulisan mendukung posisinya, seraya mencela posisi saya, Sitorus serta-merta meyakini kebenaran faktual dan ketepatan argumen di dalamnya.
Tapi saya harap polemik semacam ini terus berlanjut. Masih ada agenda lain, misalnya pembahasan tentang dampak sosial-budaya sains; inilah yang saya harapkan dibicarakan dalam polemik berikutnya.
Saya harap Goenawan Mohamad mau turun lagi ke gelanggang secara terbuka. Itu pasti lebih berfaedah daripada sekadar nyeletuk-nyeletuk atau bahkan, lebih buruk, menyebarkan cercaan-cercaan personal dari para nobodies terhadap saya.
Debat semacam ini mestinya berlangsung biasa saja, dan sebisa-bisanya fokus pada substansi masalah. Tidak perlu diperlakukan sebagai pertarungan menang-kalah. Kepengecutan sikap dan kebiasaan politicking lama, meski telah berurat berakar puluhan tahun, mestinya bisa diatasi, setidaknya karena alasan pertambahan usia.
Serangan-serangan personal, selain tak bermutu dan hanya memamerkan childishness, juga potensial untuk membuat pelakunya malu besar, jika orang membalasnya dengan serangan personal pula. Apalagi jika yang diserang itu lebih dari mampu untuk melakukan pembalasan setimpal berkat penguasaan infonya.
Marilah kita kembali ke tema pokok diskusi, sambil tetap menjaga kehormatan diri dan orang lain, yang bagi saya adalah untuk mempromosikan perangai ilmiah di kalangan warganegara, bukan supaya mereka jadi ilmuwan.
Perangai ini mudah-mudahan meluas menjadi budaya ilmiah. Kebutuhan akan hal ini makin besar di tengah dominasi budaya religius sekarang ini, yang tidak akan membawa kita ke mana-mana. — dan pasti tidak akan menuntun kita ke kemajuan peradaban dan kemakmuran. ***
Oleh: Hamid Basyaib