Faktanews.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf secara tegas menolak keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain mengatakan pihaknya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait SP3 yang dikeluarkan KPK untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dalam kasus BLBI tersebut.
“ Sebagai Yayasan berbadan hukum yang didirikan dalam rangka ikut aktif mengawal dunia penegakan hukum di tanah air, LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut. Wujud penolakan itu ditempuh melalui jalur legal dengan mengajukan gugatan pra peradilan (“Prapid”) di PN Jakarta Selatan,” ujar Mirza dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/4/2021).
Menurut Mirza, LBH Yusuf berpandangan bahwa Penerbitan SP3 tersebut bertentangan terhadap hukum dan keadilan, serta menciderai hati nurani rakyat Indonesia, khususnya menciderai Hati Nurani LBH Yusuf selaku Yayasan Lembaga Bantuan Hukum yang Peduli akan Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia.
“LBH Yusuf dengan ini menyatakan menolak dan menuntut pembatalan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim melalui gugatan Prapid,” katanya.
Mirza menegaskan Legal Standing LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan Prapid ini cukup terang. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannyaa”.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-X/2012, yang dimaksud frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, menurut Mirza, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
“Ketentuan tersebut menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam dalam mengajukan gugatan Prapid terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang mencederai hati Nurani rakyat Indonesia. Sidang perdana terhadap gugatan Prapid tersebut akan digelar pada hari senin, 26 April 2021 di PN Jakarta Selatan, mulai Pukul 09.00 WIB,” katanya.
Mirza menambahkan penerbitan SP3 menjadi yang pertama dalam sejarah berdirinya Lembaga anti rasuah yang sebelumnya dikenal cukup garang ini.
Sebagaimana diketahui, kasus BLBI berawal dari adanya investigasi BPK terkait penyaluran dan penggunaan dana BLBI pada tahun 2000. BPK menemukan bahwa Negara mengalami kerugian hingga Rp 138,7 Triliun. Dari total kerugian tersebut Sjamsul Nursalim merugikan negara sebesar Rp 4,8 Triliun.
Pada tahun 2002, dimasa pemerintahan Presiden Megawati, telah dikeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2002 yang menjadi landasan keluarnya Surat Keterangan Lunas (SKL) dan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, Sjamsul Nursalim menyerahkan aset-aset miliknya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk terlepas dari jerat hukum. Hal itu terbukti dengan terbitnya SKL bagi Sjamsul Nursalim.
Selanjutnya, di tahun 2007, Kejaksaan Agung kembali mengusut kasus Sjamsul Nursalim terkait penerbitan SKL dirinya. Sasaran penyelidikan tersebut mengarah pada aset-aset yang diserahkan Sjamsul Nursalim kepada BPPN. Dalam penyidikan ditemukan fakta bahwa aset tambak yang diserahkan kepada BPPN, Sjamsul Nursalim mengakui memiliki nilai piutang sebesar Rp 4,8 Triliun. Ternyata hal itu tidak sesuai, melainkan hanya senilai Rp 220 Miliar. Artinya ada 4,58 trilyun kerugian negara dalam kasus ini. Nilai itu didapat dari pengurangan utangnya yang senilai Rp 4,8 Triliun terhadap nilai tambak yang sebesar Rp 220 Miliar. Sebuah angka yang cukup bombastis.
Ironisnya, dalam proses penyidikan Kejaksaan Agung, Tim Penyelidikan kasus BLBI yang diketuai Jaksa Urip Tri Gunawan, justru melakukan hal yang menciderai hati nurani rakyat. Penghentian kasus Sjamsul Nursalim ternyata beraroma suap. Hal itu dibuktikan dengan tindakan KPK menangkap Jaksa Urip dan Artalyta Suryani terkait suap sebesar Rp 6 Miliar untuk penghentian kasus tersebut. Jaksa Urip di putus pidana penjara 20 tahun dalam Putusan MA RI Nomor 243K/PID.SUS/2009, sementara Artalyta di putus pidana penjara 5 tahun dalam Putusan MA RI Nomor 147K/PID.SUS/2009.
Menindaklanjuti pemberhentian penyidikan beraroma suap tersebut, KPK kembali melakukan penyidikan dan menargetkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, terkait adanya dugaan suap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Terhadap kasus tersebut, KPK menetapkan Syafrudin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada 25 Juli 2017. Dan pada 13 Mei 2019 KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim sebagai tersangka dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dugaan tindak pidana penyuapan terhadap Ketua BPPN ini ditengarai sangat berkorelasi dengan putusan korupsi terhadap Jaksa Urip. Hal ini (walau tidak berkaitan langsung) namun menjadi bukti yang tegas bahwa Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim patut diduga secara kuat telah melakukan suap terhadap Penerbitan SKL. Hal itu dibuktikan dengan penetapan status Tersangka bagi Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim oleh KPK. Penetapan tersangka terhadap keduanya tentu didasarkan oleh 2 (dua) Alat Bukti yang cukup sebagaimana perintah KUHAP. Apalagi KPK dikenal cukup memiliki kredibilitas dalam hal tersebut.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, KPK juga telah memanggil keduanya secara sah selama 2 kali berturut-turut. Namun, keduanya tidak mengindahkan surat panggilan tersebut. KPK lalu menetapkan nama Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pada perkembangannya, terbit Putusan MA RI atas Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung No. 1555K/PID.SUS/2019 tertanggal 09 Juli 2019 yang menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa bukan merupakan Tindak Pidana Korupsi dan melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum. Mestinya putusan tersebut tidaklah mengikat bagi status tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim, sebab keduanya belum dilakukannya proses Penyidikan sesuai dengan KUHAP oleh KPK. Akan tetapi KPK justru mengambil langkah ceroboh dengan menerbitkan SP3 terhadap kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim.
Terhadap hal itu, Mirza menegaskan LBH Yusuf berpandangan bahwa Penerbitan SP3 tersebut bertentangan terhadap hukum dan keadilan, serta menciderai hati nurani rakyat Indonesia, khususnya menciderai Hati Nurani LBH Yusuf selaku Yayasan Lembaga Bantuan Hukum yang Peduli akan Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia. LBH Yusuf dengan ini menyatakan menolak dan menuntut pembatalan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim melalui gugatan Prapid. (MMA)