Faktanews.id - Kejaksaan Tinggi Maluku Utara menunjuk Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Dr.Fahri Bachmid,S.H.,M.H. sebagai saksi Ahli dalam sidang Praperadilan Penetapan Tersangka Reza ST terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa Pengadaan Nautika Kapal Penangkap Ikan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara Tahun Anggaran 2019.
“Iya benar saya diminta sebagai saksi Ahli dalam Persidangan Praperadilan dimaksud oleh Termohon yaitu Pihak Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, dan berdasarkan hal itu, pada hari jumat tanggal, 16/04/2021 saya telah memberikan keterangan Ahli dihadapan Persidangan, ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/4/2021).
Fahri menyampaikan sidang praperadilan digelar di Pengadilan Negeri Ternate, pada Jumat (16/4/20121). Dalam persidangan itu, Fahri Bachmid, menerangkan dan menyampaikan kepada hakim tunggal bahwa pentepan tersangka kepada Reza,ST secara konstitusional tepat dan sejalan dengan prinsip hukum acara yang berlaku.
“Praperadilan sejatinya merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa “pra persidangan” bagi tersangka atau orang lain yang merasa hak-nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum,” katanya.
Namun demikin, menurut Fahri, praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. Secara eksplisit hal tersebut diatur dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf d. yang menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Menurutnya, pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara.
“Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek “formil belaka” dan tidak dimaksudkan untuk memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan pokok perkara, sebab pokok perkara atau persoalan substansial dari perkara itu adalah ranah atau yurisdiksi dari pemeriksaan persidangan oleh majelis hakim,bukan oleh lembaga Praperadilan, itu hukumnya yang telah didesain seperti itu,” tandasnya.
Untuk kewenangan lembaga Praperadilan, Fahri menyampaikan aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pmeriksaan pokok perkara. Untuk kewenangan baru praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016. Bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit dua alat bukti yang sah.
“Secara praktik dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti," katanya.
"Itulah mengapa putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUUXV/2017 tanggal 10 Oktober 2017," tandas Fahri Bachmid.
Menurut Fahri Bachmid, bahwa seluruh tindakan penyidik Kejati Maluku Utara dalam melakukan tahapan serangkaian proses penyelidikan dan penyidikan sampai dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka hakikatnya telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 25/PUU-XIV/2016, tanggal 8 September 2016, Jo. Putusan MK RI No. 42/PUU-XV/2017 tanggal 10 Oktober 2017, Jo. Putusan MK RI No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017.
“Dengan demikian, proses ini telah memiliki derajat konstitusional yang memadai, serta memenuhi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diatur dalam UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” tukasnya.
Hakim tunggal pemeriksa perkara Praperadilan akan membacakan putusan praperadilan yang diajukan Reza ST pada hari senin tanggal, 19 April 2021 yang akan datang.
Untuk diketahui, kasus yang menjerat Reza selaku Ketua Pokja I untuk Pengadaan Nautika Kapal Penangkap Ikan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara Tahun Anggaran 2019 diawali dari suatu Dugaan bahwa proses tender/lelang pengadaan barang dan jasa yang diatur dan diarahkan kepada PT Tamanlarea Karsatama sebagai pemenang tender (Penyedia Barang dan Jasa).
Penetapan tersangka karena Reza ST diduga tidak melakukan proses pelelangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan peraturan LKPP Nomor 9 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia.
Reza ST kemudian mengajukan gugatan praperadilan. Perkara terdaftar dengan Register Perkara Nomor: 3/Pid. Pra/2021/PN.Tte Pada Pengadilan Negeri Ternate. Praperadilan ini ditempuh karena Reza ST tidak terima ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara Nomor PRINT-566/Q.2/Fd.1/10/2020 tanggal 15 Oktober 2020.
Reza ST ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi Pengadaan Nautika Kapal Penangkap Ikan dan Alat-alat Simulasi untuk Praktikum SMK Kemaritiman pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara TA. 2019. Dia menjadi tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor PRINT-71/Q.2/Fd.1/02/2021 tanggal 10 Februari 2021. (MMA)